Beranda | Artikel
Rezeki Marifat
Minggu, 19 Maret 2017

Bismillah. Wa bihi nasta’iinu.

Setiap kali disebutkan kata ‘rezeki’ banyak orang berpikiran seputar harta dan kenikmatan dunia. Tidak dipungkiri bahwa rezeki semacam itu adalah rezeki; yang dengannya seorang bisa menjadi golongan kaum bertakwa ketika dia mau menyisihkan sebagian rezeki itu di atas jalan ketaatan dan perjuangan menegakkan agama Islam.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, di sisi lain kita sering melupakan ada bentuk rezeki yang lain yang juga sangat penting bahkan menjadi asas kebahagiaan insan. Rezeki apakah itu? Ya, itulah yang sering kita minta dalam doa ‘Ya, Allah tunjukkanlah kepada kami yang benar itu adalah benar, dan berikanlah rezeki kepada kami untuk selalu mengikutinya…’ Inilah rezeki agung yang berupa ilmu yang bermanfaat. Alias rezeki berupa hidayah dan taufik dari Allah.

Banyak orang yang sadar bahwa mereka tidak bisa hidup di dunia ini tanpa air dan udara, tetapi sedikit orang yang mengerti dan yakin bahwa mereka tidak bisa hidup bahagia -dengan makna yang sebenarnya- tanpa bantuan dan pertolongan Allah kepadanya. Karena itulah kebanyakan orang terlena dengan nikmat dan kesenangan duniawi yang menipu. Sehingga tidaklah aneh jika Allah memberitakan bahwa ‘betapa sedikit diantara hamba-Nya yang pandai bersyukur’. Bahkan seperti itulah kenyataan hidup manusia sehari-hari yang bisa kita saksikan dan kita rasakan.

Rezeki berupa hidayah dan taufik dari Allah bukan barang murahan atau sepele. Ia adalah kebaikan demi kebaikan yang Allah curahkan kepada hamba-hamba-Nya demi menjaga mereka dari kehancuran. Rezeki berupa ilmu tauhid dan sunnah bukanlah rongsokan atau sampah yang tidak bernilai sama sekali. Namun, kenyataannya banyak orang yang memandang dengan penuh keengganan dan tanpa minat kepadanya. Padahal sejatinya rezeki ilmu tauhid dan sunnah inilah yang akan mengantarkan jiwa meraih hidup bertabur bahagia. Seperti yang diungkap dalam sebuah ayat yang artinya, “Barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (Thaha : 123)

Saudaraku yang dirahmati Allah, betapa lembut kasih sayang dan perhatian Allah kepada kita. Begitu lembutnya sampai-sampai kita pun tidak merasa bahwa Allah selalu memperhatikan dan mengawasi gerak-gerik hati dan anggota badan kita. Tidak ada satu pun perkara yang samar bagi-Nya. Semua makhluk di langit dan di bumi adalah milik-Nya. Allah tidak pernah mengantuk atau pun tertidur sehingga lalai dari amal perbuatan hamba-Nya. Allah lah al-Hayyu -dzat yang Maha Hidup- yang menjadi sandaran setiap makhluk ciptaan-Nya.

Apabila kita mau jujur dan berterus-terang pastilah kita akan berkata dari lubuk hati yang paling dalam ‘Aku tidak bisa hidup tanpa-Mu, Ya Allah…’ Inilah fitrah dan naluri yang Allah tanamkan dalam hati setiap insan. Akan tetapi hawa nafsu dan setan telah membutakan manusia dan menghias-hiasi kebatilan dengan selimut kebenaran. Ketika datang para utusan Allah, spontan terlontar gelaran-gelaran buruk untuk mereka ‘Tukang sihir, pembohong, orang gila, dst…’ Wahai manusia, betapa hina jiwa anda ketika Iblis dan hawa nafsu telah menjajah lisan dan perbuatan sehingga dengan pongah menolak kebenaran dan mencerca pembawa kebenaran itu! Bukankah anda telah diperingatkan oleh Allah -pencipta diri anda- bahwa setan itu adalah musuh yang nyata, yang selalu berhasrat untuk menjerumuskan pengikutnya menuju neraka…

Anda tidak lagi bisa membedakan mana musuh dan mana kawan, mana kebaikan dan mana keburukan, mana ketaatan dan mana kemaksiatan, mana yang positif dan mana yang negatif. Samar dan samar, itulah hidup dan kehidupan yang anda jalani selama ini. Betapa sedikit manusia yang mau menyadari dan mengikuti kebenaran. Itulah kondisi dan tabiat orang yang kufur kepada Allah dimana mereka tidak mau beriman kecuali setelah melihat azab yang pedih di depan matanya. Ketika itulah mereka berangan-angan untuk dikembalikan ke dunia dengan alasan untuk melakukan amal salih yang selama ini telah mereka tinggalkan. Akan tetapi penyesalan tinggallah penyesalan, angan-angan hanya sekedar impian. Nasi sudah menjadi bubur. Ketika itulah orang akan sadar sesadar-sadarnya bahwa mengenal Allah dan taat kepada-Nya adalah rezeki luar biasa yang menjadi asas dan sumber kebahagiaan hidupnya…

Itulah rezeki yang dilukiskan oleh Malik bin Dinar rahimahullah dalam ucapannya, “Telah pergi para pemuja dunia dari dunia ini dalam keadaan belum menikmati sesuatu yang paling lezat di dalamnya.” Orang-orang pun bertanya kepadanya, “Wahai Abu Yahya, apakah itu sesuatu yang paling lezat di dalamnya?” beliau menjawab, “Mengenal Allah ‘azza wa jalla.”

Orang yang mengenal Allah itulah orang yang hatinya hidup. Sebagaimana digambarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Perumpamaan orang yang mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak pernah ingat kepada Rabbnya adalah seperti perbandingan antara orang yang masih hidup dengan orang yang sudah mati.” (HR. Bukhari)

Setiap orang beriman hidup dengan tauhid dan ketaatan, hidup dengan dzikir dan hidayah yang Allah limpahkan, hidup dengan Islam dan taufik yang Allah berikan. Inilah rezeki paling berharga yang dilalaikan kebanyakan manusia. Mereka tidak peduli serusak apa pun agamanya selama dunia mereka tetap selamat, inilah sifat kebanyakan orang. Itulah masyarakat yang menyelisihi kebenaran, seperti diungkap oleh Imam al-Ajurri rahimahullah dalam bukunya al-Ghuraba’. Masyarakat yang hanyut dalam kebatilan. Laa yubaaluuna maa naqasha min diinihim idza salimat lahum dun-yaahum. Artinya, “Mereka tidak peduli serusak bagaimana pun agamanya selama urusan dunia mereka tetap selamat…” (lihat kitab al-Ghuraba’, hal. 27)

Banyak orang yang hatinya sakit tetapi tidak sadar bahwa hatinya sakit. Banyak orang yang hatinya buta tetapi tidak sadar jika hatinya telah buta. Bagi mereka dunia inilah kehidupan dan kesuksesan, tetapi kelak di akhirat mereka baru sadar seraya menelan penyesalan dan mengatakan ‘yaa laitanii qaddamtu li hayaatii’ yang artinya, “Aduhai, andaikata dahulu aku mempersiapkan diri untuk menyambut kehidupanku ini -di akhirat-…” Ternyata, hidup kita yang sejati adalah di akhirat. Kebebasan yang hakiki adalah di surga. Sebab hidup di dunia hanya sebentar dan sementara. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu berpesan, “Jadilah kalian anak-anak pengejar akhirat, dan janganlah kalian menjadi anak-anak pemuja dunia…”

Ketika tetes demi tetes hujan menyirami bumi seorang hamba yang beriman akan berdoa ‘Allahumma shayyiban naafi’a’ yang artinya, “Ya Allah, curahkanlah kepada kami hujan yang penuh dengan manfaat.” Sebab turunnya hujan merupakan rahmat dari Allah. Sebagaimana Allah mampu menghidupkan bumi yang mati dan gersang maka begitu pula Allah sanggup untuk menyadarkan dan menghidupkan kembali hati yang mati dan padam. Ingatlah kepada Allah -wahai saudaraku- karena dengan mengingat Allah hati akan menjadi tenang dan tentram…

Kesempatan masih saja Allah bukakan untuk anda. Hari ini anda masih bisa menghidup udara segar. Hari ini anda masih bernafas dan jantung anda masih berdetak. Hari ini adalah kesempatan baru bagi anda setelah jutaan kesempatan yang Allah berikan kepada anda sebelumnya. Anda akan terus berjalan dan melaju mendekati kematian. Pintu taubat masih terbuka dan kesempatan untuk memperbaiki diri masih ada. Ya, anda tidak perlu ragu… Rabbmu adalah al-Ghafuur -yang Maha Pengampun- lagi pemilik rahmat/kasih sayang yang sangat luas…

Takutlah kepada Allah niscaya Allah akan memberikan rasa aman kepada anda di akhirat. Takutlah kepada Allah dimana pun anda berada dan apa pun posisi dan jabatan yang Allah berikan kepada anda. Takutlah kepada Allah niscaya Allah berikan taufik-Nya kepada anda…


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/rezeki-marifat/